Kita Untuk Selamanya, Sahabat
Rabu, 04 Juli 2012
Selasa, 03 Juli 2012
Kita Satu Bersama
Kau disini
Aku juga
Hari ini kita senyum
Tertawa
Kita Satu... Teman
Hati kita berdebar…
Untuk sebuah surat kuning
Teriak hati kita… yaa
Ini penantianku
Ini penantian kau
Bukan ini penantian kita
Kita satu bersama
Senja Juli
Kulirik keseberang sana
Senja…
Angin menyisir rambutku lembut
Kulirik lagi keseberang sana
Senja…
Pertunjukkan cahaya di mulai
Kulirik kesekitar
Senja…
Hamparan hijau menguning
Kulirik lagi
Senja…
Hilangku di bawa roda dua
Senja…
Kurindu mereka…
Senin, 02 Juli 2012
Teka-Teki Sepucuk Angpau Sepit
Judul : Kau, Aku dan Sepucuk
Angpau Merah
Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Februari 2012
ISBN : 978-979-22-7913-9
Desain : eMTe
Tebal ; Tinggi : 512 hlm ; 20cm
Harga : Rp 72.000,00
Tentu ada, Borno. Tentu
ada. Tapi aku akan membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat bijak itu.
Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, berkerja keras dan
sederhana, defenisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan
Meninggalnya
Bapak Borno akibat sengatan seekor ubur-ubur yang beujung dengan operasi
jantung, menjadi awal dari kisah ini. Borno, seorang anak laki-laki yang saat
itu berusia 12 tahun harus merasakan pahitnya kehilangan seorang Bapak yang
paling dia sayangi.
Meskipun
Borno terus di bayangi kejadian yang sangat menyedihkan itu, dia mencoba menghapus
semua kejadian itu, meski tak bisa dilupakan sepenuhnya dari ingatannya dan berusaha
menjalani aktivitasnya seperti biasa disepanjang tepian Sungai Kapuas—Pontianak.
Usai tamat SMA—Borno—bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas,
melamar pekerjaan kesana kemari dan mengganti-ganti pekerjaan. Hingga akhirnya
mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik karet di kota Pontianak, tersebut.
Namun, pekerjaannya itu tak berumur lama, hanya enam bulan saja, Borno dipecat bersama ratusan karyawan lainnya. Sibuk melamar kesana kemari, akhirnya dia mendapatkan pekerjaan di sebuah penjualan tiket kapal feri atau disebut ‘Pelampung’.
Pekerjaannya
kali ini tetap tak berjalan mulus, dia menjadi dikucilkan oleh seorang lelaki batak
yang mernama Bang Togar—lelaki yang suka berlogika di atas logika. Kebenciannya
terhadap pelampung itu membuat Borno juga menjadi sasarannya dan mengeluarkan
berbagai ultimatum untuk mengancam Borno.
Tak
sampai sebulan akhirnya dia mengundurkan diri dan menjadi pengemudi sepit dari
hasil kesepakatan Pak Tua, Cik Tulani dan Koh Acong—kerabat dekat Bapak Borno—yang
telah berbicara pada ibunya, Saijah.
Sepit yang berwarna biru dan bertuliskan ‘Borneo’ menjadi hadiah dari Bang
Togar dan pengemudi sepit lainnya.
Disinilah
mulai kisah cinta yang sederhana namun menakjubkan. Sepucuk surat berwarna
merah, dilem dengan rapi ditemukan terjatuh dikursi bagian depan sepitnya,
menjadi teka-teki siapa pemiliknya dalam beberapa hari. Ternyata, sepupcuk surat
itu milik seorang gadis—Mei namanya—gadis perawakan Cina Pontianak yang parasnya
sendu menayawan, yang telah menaiki sepit milik Borno. Ketika hendak mengembalikan
surat itu, Borno melihat gadis tersebut sedang membagikan angpau menjelang
Imlek dan Cap Go Meh. Ternyata surat merah tersebut hanyalah angpau biasa.
Bukan surat yang menyimpan berita penting.
Borno
tetap menyimpan angpau tersebut, hingga angpau tersebut akan menjawab teka-teki
kisah yang terjadi. Sejak kejadian itu—Mei—menjadi cerita yang menarik dalam
kisah ini. Gadis itu berhasil membuat bujangan dengan hati paling lurus itu
melakukan hal-hal yang di luar logika dengan tindakan-tindakan bodohnya.
Menunggu
jam 07.15, untuk antrian nomor 13, agar Mei bisa menaiki sepitnya, mencuri-curi
pandangan ke wajah sendunya dan berbicara walau 15 menit setelah menunggu waktu
23 jam dan 45 menit—begitu kebiasaan setiap harinya. Mei adalah seorang guru SD
yang datang untuk mengungkap teka-teki keluarganya dan mengukir kisah cintanya
yang sederhana, di tanah kelahirannya—Pontianak.
Pada
suatu hari Mei harus kembali kerumahnya di Surabaya—tempat keluarga besarnya tinggal.
Setelah kepergian Mei tersebut, Borno tetap menarik sepit di pagi hari, namun
tak ada lagi antrian nomor 13, siangnya mampir ke bengkel kecil—atau mungkin
gudang barang rongsokan milik sahabatnya—Andi—sahabat sekalian ember bocor.
Disana Borno belajar sekaligus menjadi montir dengan perkakas seadanya, dengan
bimbingan dari buku yang Bapak Andi berikan dan buku-buku yang dipinjamnya dari
perpustakaan. Ternyata Borno cukup mahir dalam bidang ini, dan menemukan bakat
terpendam pada dirinya. Pada malam harinya, Borno menyempatkan diri ke rumah
Pak Tua, mendengar semua cerita dan petuah-petuahnya, yang selalu menyemangati
Borno.
Hari-hari
dilalui Borno dengan menyibukan diri agar bisa melupakan Mei—meski tak bisa
tentunya. Hari terus berganti, banyak kejadian yang terjadi, penipuan kecil
yang dilakukan sahabatnya yang
mengatakan Mei telah kembali, pada hal hanya alasan untuk mengantar
besan bapaknya yang berkunjung dan kisah cintanya Bang Togar yang tak kalah
hebat dan menakjubkan harus tinggal di pedalaman, bersama suku Dayak.
Setelah
enam bulan kepergian Mei, ketika itu Pak Tua jatuh sakit. Dokter menganjurkan
agar melakukan perobatan alternative di salah satu klinik untuk menyebuhkan penyakit
Pak Tua tersebut. Pak Tua mengajak Borno untuk menemaninya berobat, tentu saja Borno tidak menolak
karena dia sangat sayang dengan Pak Tua dan paling membuatnya mau menemani pak
tua, tak lain karena klinik tersebut berada di Surabaya, kota dimana Mei dan
keluarga besarnya tinggal.
Borno berangkat meninggalkan Pontianak besama Pak Tua dengan semangat dengan harapan dapat bertemu Mei disana, meski tak tahu dimana alamat Mei tinggal. Tetapi ternyata Tuhan bekehendak lain, tanpa sengaja Mei bertemu dangan Borno di klinik tempat Pak Tua berobat, teryata Mei juga mengantar neneknya berobat. Setelah beberapa tindakan bodoh yang dilakukan Borno di klinik dengan uang receh dan buku telepon yang begitu tebal dengan nama Sulaiman atau Soelaiman—yang tak membuahkan hasil.
Setelah pertemuan di klinik itu, mereka bertemu kembali dan melakukan perjalanan keliling Surabaya bersama Pak Tua, mengunjungi salah satu kerabat lama yang membuat Borno dan Mei melihat, Apa sebenarnya itu cinta?. Perjalan itu selesai, dengan penuh harapan Borno berharap secepatnya dapat bertemu kembali dengan Mei. Namun, harapan itu sedikit berkurang setelah tahu kenyataan dari satpam rumah yang galak—tentunya Bapaknya Mei.
Kembalinya ke Pontianak setelah Pak Tua dinyatakan sehat dan pertemuan dengan Mei disana, membuat wajah Borno murung. Menyadari dan memikirkan kata-kata yang diucapkan Bapaknya Mei kepadanya “Berbeda”. Namun begitu Borno semakin memikirkan Mei dan akhirnya dia jatuh sakit. Tetapi setelah mendapat petuah dari Pak Tua, Borno kembali melakukan kegiatan sehari-harinya menarik sepit di Kapuas. Berkunjung ke bengkel Andi, mengasah kemampuan menjadi montir yang telah di milikinya, agar dapat mewujudkan impiannya bersama Andi membuka bengkel besar nantinya berdua. Serta dia mendapat tugas tambahan dari Ibunya untuk mengantar makanan pada pak tua untuk menjaga kesehatannya.
Hingga
suatu hari kejutan besar datang ketika di pagi hari, satu tempat duduk sepitnya
di dekat buritan, dibiarkan kosong tidak boleh diisi oleh penumpang lain karena
sudah ada yang memesan. Penumpang lainnya heran dan tentunya juga Borno, tidak
tahu apa yang terjadi kenapa bangku sepitnya tidak diisi penuh dan harus
menunggu. Ternyata jawabanya akhirnya datang, Mei kembali! Borno begitu senang
dan kembali lagi ke antrian 13 setiap harinya.
Tetapi
setelah janji yang tak ditepati, tempat duduk di buritan itu kembali kosong.
Hal itu tak belangsung begitu lama, jawabannya terjawab ketika tak sengaja
Borno bertemu dengan Mei di rumah Pak Tua. Ternyata setelah kejadian itu, Mei
datang berkunjung ketempat Pak Tua untuk bercerita dan bertanya mengapa sepit
Borno di jual. Namun, Mei meminta agar Pak Tua tidak menceritakannya pada
Borno. Semuanya membaik dan Mei membantu Borno membagikan jaket dan stiker
kepada tukang ojek untuk mempromosikan bengkel baru yang telah di buka Bapak
Andi dan Borno dengan kongsian, meski telah terjadi penipuan atas mereka
berdua, yang membuat Bapak Andi menjadi sedih dan hanya termenung setiap
harinya. Lain dengan Borno, dia tetap semangat berusaha untuk dapat bangkit
kembali dengan sisa waktu tiga tahun lagi.
Sayang
sekali hal yang baik itu juga tak berlangsung lama, Mei datang berkunjung ke
bengkel Borno seperti biasa, tetapi Mei datang dengan berita yang tidak biasa,
dia datang dan meminta agar Borno tidak menemuinnya lagi. Borno bingung, sedih
tak mengerti apa yang terjadi. Di pikiran Borno hanyalah, Bapaknya Mei. Borno
beranggapan Bapaknyalah penyebab semua ini setelah kejadian yang kedua kalinya
Borno berkunjung ke rumah Mei—yang di Pontianak dan bertemu Bapaknya.
Hari
berganti hari, Borno terus mencoba menemui Mei untuk bertanya dan meminta
penjelasan kepadanya “Kenapa?”, tetapi Mei terus menghindar tak ingin berjumpa.
Ketika ada sebuah pesta keluarga Borno di undang secara terhormat oleh
Sarah—anak dari pasien yang membutuhkan jatung dengan kenangan pahit itu dan
gadis kecil yang dimarahi Borno ketika umurnya 12 tahun lalu di Rumah Sakit
tempat operasi itu berlangsung. Ternyata Mei dan Bapaknya juga diundang dalam
pesta itu. Pertemuan singkat pun terjadi antara Borno dan Mei, namun tak banyak
kata yang terucap. Mei harus pulang ketika Bapaknya Mei kembali dari toilet
yang sudah di lumayan lama karena bantuan dari Pak Tua.
Kesempatan
berbicara hilang begitu saja. Bahkan kata “Kenapa?” tak sempat mendapat
penjelasan. Berbagai macam cara dilakukan Borno, seperti menulis di secarik
kertas dan dititpkan pada Bibinya Mei. Sayang balasan yang diterima, ternyata
dia harus kembali ke Surabaya, perlombaan sepit di final harus Borno tinggalkan demi mengejar si sendu menawan ke
bandara.
Meski Mei telah pergi,tak tahu kapan kembali, Borno masih tetap memikirkannya. enam bulan berlalu hingga satu tahun pun sudah terlewati, Mei tak kunjung kembali. Menyibukkan diri dengan bengkelnya yang mulai ramai di datangi pelanggan, adalah salah satu cara untuk sedikit melupakan dia—Mei. “Kenapa?” pertanyaan yang selalu menjadi teka-teki di benak Borno. Dan jawabannya diberi tahukan oleh Bibinya Mei, setelah bertemu dengan dengan Borno sehabis jalan-jalannya bersama Sarah—wanita yang menjadi pusat perhatian ketika Mei tidak ada—dari negeri tetangga.
Angpau—sepucuk
angpau itu. Apakah isi sepucuk angpau merah
itu? Lantas bagaimana kisah cinta
Borno dan Mei, setelah tahu isi sepucuk angpau itu dan menjawab teka-teki
selama ini? Akankah Borno pergi menyusul Mei ke Surabaya—atau mungkin tetap di
Pontianak, bersama Sarah—menemukan arti definisi cinta sejatinya yang dikatakan
Pak Tua padanya?
Buku setebal 512 halaman ini
benar-benar menggugah rasa penasaran pembaca di setiap halamannya. Memberikan sajian cerita yang begitu santai
dan menarik. Pendeskripsian suasana kejadian dan tempat-tempat yang di
kunjungi oleh tokoh, dengan baik, membuat kita dapat berimajinasi penuh
membayangkan suasana dan tempat-tempat tersebut.
Penyampaian bahasa yang mudah di mengerti, membawa setiap pembaca hanyut ke dalam situasi yang terjadi: senang, sedih maupun marah. Pembaca seakan-akan ikut berada dalam situasi itu ketika berlangsung. Bahkan dengan adanya karakter Bang Togar—lelaki yang suka berlogika di atas logika, dan Andi—si mulut ember, membuat cerita yang di suguhkan Tere Liye ini lebih lucu.
Tetapi disayangkan dalam cerita yang begitu menakjubkan ini, terdapat beberapa ketikan yang salah. Contohnya pada halaman 279 : Aku menahan tawa. “Itu kan sekedar istilah, pemanis kalimat”. Seharusnya antara kata “itu” dan imbuhan “-kan” tidak perlu ada jarak spasi.
Namun begitu, setitik kesalahan kecil itu dapat ditutupi Tere dengan petuah-petuah dari Pak Tua tentang hidup dan cinta—yang terutama, misalnya: ... Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, halaman : 173). Tidak hanya itu saja Tere juga mahir dalam perumpamaan-perumpamaan, misal: “Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi tujuan apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta.” (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, halaman : 168).
Kisah dengan tebal buku 512 ini, tak kalah romantis bila dibandingkan dengan kisah-kisah seperti, Romeo and Juliet, Titanic dan kisah-kisah lainnya. Dan kisah ini wajib masuk dalam daftar bacaan kamu.
Langganan:
Postingan (Atom)